Eric Schmidt: Google Dukung
Reformasi Pajak Internasional
Penulis : Anton Alifandi
Minggu, 19 Mei 2013 | 16:40 WIB
LONDON,
KOMPAS.com -
Komisiaris eksekutif Google, Eric Schmidt mengatakan, pihaknya mendukung
reformasi sistem perpajakan internasional agar lebih sederhana dan transparan.
Schmidt menyatakan sikapnya menanggapi tekanan politik di Inggris agar Google
membayar pajak korporasi yang lebih besar.
Ketua
Komisi Akuntabilitas Publik Parlemen Inggris, Margaret Hodge, dalam sidang dengar
pendapat Kamis (16/5/13) menuduh Google berbuat jahat, licik dan tidak etis
dalam menjalankan bisnisnya di Inggris. Sebelumnya Perdana Menteri David
Cameron juga menuduh praktik bisnis Google di Inggris amoral. Komentar ini
mereka lontarkan karena rendahnya setoran pajak korporasi Google untuk
transaksi bisnis yang pada hakikatnya berlangsung di Inggris.
Pada tahun
2011, omzet penjualan iklan Google di Inggris bernilai 3,2 miliar poundsterling
(sekitar Rp 47,7 triliun), tetapi perusahaan itu hanya membayar pajak korporasi
sebesar enam juta poundsterling (sekitar Rp 89,5 miliar), jumlah yang amat
rendah bila dibandingkan dengan tingkat pajak korporasi sebesar 28 persen.
Google mengatakan, sebagian besar kontrak penjualan iklannya disahkan di
Republik Irlandia, sehingga perusahaan itu tidak berkewajiban membayar pajak di
Inggris.
Reformasi
pajak
Dalam
tulisannya di koran Minggu Inggris The Observer (19/5/13), Schmidt
berharap agar pemerintah Inggris sebagai tuan rumah pertemuan puncak G8 bulan
depan menjadikan reformasi perpajakan internasional sebagai salah satu agenda
utama. Namun dia memperkirakan bahwa proses reformasi itu akan berjalan alot
karena berbagai negara mempunyai kepentingan yang berlawanan. Schmidt
memperingatkan bahwa kalaupun reformasi ini berhasil, tidak berarti bahwa semua
negara akan diuntungkan.
Schmidt
mengatakan, reformasi itu baru akan menguntungkan semua negara apabila tingkat
pajak korporasi secara global dinaikkan secara signifikan, suatu tindakan yang
menurutnya tidak bijaksana. "Konsekuensinya kemungkinan besar adalah
inovasi berkurang, pertumbuhan berkurang dan penciptaan lapangan kerja
berkurang," tulisnya.
Nada
tulisan Schmidt yang pro reformasi pajak berbeda dengan reaksi awalnya terhadap
tekanan politik yang dihadapi perusahaannya. Dalam komentar kepada Bloomberg
Desember lalu, Schmidt mengaku bangga dengan cara Google menyiasati pajak.
"Saya sangat bangga dengan struktur (pajak) yang kami dirikan. Itulah
kapitalisme," katanya ketika itu.
Selain
Google, Komisi Akuntabilitas Parlemen Inggris juga menyoroti rendahnya setoran
pajak perusahaan-perusahaan multinasional seperti perusahaan eceran internet
Amazon dan jaringan café Starbucks. Ketiga perusahaan tersebut pertama kali
dipanggil oleh parlemen November tahun lalu. Menyusul sidang dengan Google
Kamis lalu, Hodge mengatakan Amazon akan dipanggil untuk kedua kalinya dalam
waktu dekat.
Amazon
pada tahun 2012 membukukan omzet 4,3 miliar poundsterling, tetapi hanya
membayar pajak korporasi 2,4 juta poundsterling. Sementara Starbucks selama
tiga tahun sampai 2012 sama sekali tidak membayar pajak korporasi di Inggris
dan selama 14 tahun beroperasi di Inggris hanya membayar 8,6 juta
poundsterling. Padahal, pada tahun 2011 saja, omzet penjualan Starbucks di
Inggris mencapai 400 juta poundsterling.
Sorotan
parlemen terhadap Starbucks menimbukan boikot konsumen dan mendorong perusahaan
itu untuk meningkatkan pembayaran pajaknya secara sukarela. Jajak pendapat yang
dilakukan badan survei YouGov menunjukkan bahwa preferensi konsumen terhadap
Starbucks turun dari 22,7 menjadi 15,4 persen, sementara preferensi terhadap
Costa yang merupakan pesaing utama Starbucks naik dari 31,8 menjadi 39,4
persen. Seruan agar konsumen menggunakan situs penjualan online selain Amazon
dan mesin pencari selain Google juga semakin meningkat.
OPINI
:
Dari artikel diatas kasus perpajakan yang terjadi diantara
pemerintahan dan perusahaan multinasional sesungguhnya di akibatkan oleh
penetapan standar perpajakan yang berbeda diantara keduanya sehingga terjadi
konflik dan masing-masing pihak merasa tidak diuntungkan. Inilah pentingnya
penyeragaman suatu standar agar hal seperti ini tidak terjadi dan semua pihak
merasa adil. Tetapi hal ini tidak mudah, seperti yang telah dibahas di artikel
tersebut bahwa
proses reformasi itu akan berjalan alot karena berbagai negara mempunyai
kepentingan yang berlawanan. Schmidt memperingatkan bahwa kalaupun reformasi
ini berhasil, tidak berarti bahwa semua negara akan diuntungkan.
Tindakan
atas solusi yang bisa diambil yakni dengan penyeragaman standar perpajakan
internasional yang dimana bijak terhadap kondisi dari masing-masing pihak yakni
perusahaan multinasional dan pemerintah, mengambil jalan tengah diantara kedua
nya, agar kedua pihak merasa adil dan tidak ada pihak yang dirugikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar