Minggu, 27 Februari 2011

HUKUM PERDATA DI INDONESIA

Perkataan “Hukum Perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum “privat materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Perkataan “Perdata” juga lazim dipakai sebagai lawan dari “pidana”.
Perkataan “Hukum Perdata”, adakalanya dipakai dalam arti sempit, sebagai lawan “hukum dagag”, seperti dalam pasal 102 Undang-undang Dasar Sementara, yang menitahkan pembukuan (kodifikasi) hukum di negara kita ini terhadap Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil maupun Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana, dan susunan serta kekuasaan pengadilan.

Hukum Perdata di Indonesia, ber-bhineka yaitu beraneka warna. Pertama, ia berlainan untuk segala golongan warga negara :
• Untuk golongan bangsa Indonesia asli, berlaku “Hukum Adat,” yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku dikalangan rakya, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam kehidupan masyarkat.
• Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropah berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdagangan (Wetboek van Koophandel), dengan pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai Burgelijk Wetboek tersebut ada sedikit penyimpangan, yaitu bagian 2 dan 3 dan Titel IV Buku I (mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula “Bergerlijk Stand” tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam Burgerlijk Wetboek.

Akhirnya untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropah (yaitu: Arab, India, dan lain-lain) berlaku sebagian dari Burgerlijk Wetboek, yaitu pada pokoknya hanya bagian-bagian yang mengenai hukum kekayaan harta benda (vermogensrecht), jadi tidak yang mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan (personen en familierecht) maupun yang mengenai hukum warisan. Mengenai bagian-bagian hukum yang belakangan ini, berlaku hukum mereka sendiri dari negri asalnya.

Hukum yang berlaku bagi golongan bangsa Indonesia asli sendiripun ad aver-bhineka lagi, yaitu berbeda-beda dari daerah ke daerah. Untuk mengerti keadaan Hukum Perdata di Indonesia sekarang ini, perlulah kita sekedar mengetahui tentang riwayat politik Pemerintah Hindia-Belanda dahulu terhadap hukum di Indonesia.

Pedoman politik bagi pemerintah Hindia-Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal 131 “Indische Staatsregeling” (sebelum itu pasal 75 Regeringsreglement).

Selanjutnya, ada beberapa peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia, seperti : Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 No. 74), Ordonansi tentang Maskapai Andil Indonesia atau I.M.A (Staatsblad 1939 No. 569 berhubung dengan No. 717) dan Ordonansi tentang Perkumpulan bansa Indonesia (Staatsblad 1939 No, 570 berhubung dengan No. 717).

Akhirnya, ada pula perauran-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara, misalnya, Undang-Undang hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912), Peraturan Umum tentang Koperasi (Staatsblad 1933 No. 108), Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 No. 523), dan Ordonansi tentang Pengangkutan di Udara (Staatsblad 1938 No. 98).

Oleh karena undang-undang Dasar kita tidakmengenal adanya golongan-golongan warga negara, adanya hukum yang berlainan untuk berbagai golongan itu dianggap janggal. Kita sedang berusaha untuk membentuk suatu kodifikasi Hukum Nasional. Sementara belum tercapai, B.W. dan dan W.v.K masih berlaku, tetapi dengan ketentuan bahwa Hakim (Pengadilan) dapat menganggap suatu pasal tidak berlaku lagi jika dianggapnya bertentangan dengan keadaan jaman kemerdekaan sekarang ini. Dikatakan bahwa B.W dan W.v.K itu tidak lagi merupakan suatu “Wetboek” tetapi suatu “rechtsboek”.

Sumber :
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, Cetakan 29, 2001.