Selasa, 15 Januari 2013

Opini terhadap kasus “Dusta Hambalang”


Dusta Hambalang ...
Oleh Arif Susanto

Kasus korupsi proyek Hambalang merupakan ujian terhadap akuntabilitas kekuasaan negara. Tabir telah menghalangi publik mengetahui penyelesaian hukumnya.

Patut dikhawatirkan bahwa berahasia menjadi karakter penyelenggara negara. Sementara itu, seiring dengan merebaknya korupsi, publik menghendaki agar dusta tidak merupakan modus operasional kekuasaan negara. Penuntasan kasus korupsi proyek Hambalang akan menegaskan komitmen penguasa pada perwujudan negara yang bersih.

Penjaga rahasia kejahatan
Deddy Kusdinar, mantan Kepala Biro Perencanaan dan Orga- nisasi Kementerian Pemuda dan Olahraga, merasa aneh bahwa hanya dirinya yang dijadikan tersangka dalam kasus korupsi proyek Hambalang (Kompas, 16/10). Jika Deddy tak sendiri, siapa saja yang diuntungkan dalam manipulasi proyek Hambalang yang nilainya menggelembung hingga Rp 2,4 triliun itu? Siapa pula dalang utama perampokan uang negara itu?

Bukan perkara mudah mengungkap fakta tersembunyi itu sebab para koruptor bersekongkol merahasiakan kejahatan-kejahatan mereka. Bila persekongkolan tersebut berhasil, rahasia itu akan terkubur di luar dunia nyata: hanya diketahui oleh mereka yang menjaga rahasia dengan baik. Dengan sifatnya yang tertutup, rahasia mengungkung kebebasan, membuat pilihan tindakan seseorang menjadi terbatas.

Indikasi adanya intervensi terhadap laporan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan tentang proyek Hambalang yang dikemukakan anggota BPK, Taufiequrachman Ruki, merupakan bentuk pengungkungan kebebasan semacam itu. Indikasi yang kemudian direduksi menjadi sekadar persoalan silap lidah itu, saya pikir, menunjukkan bahwa Ruki sendiri bahkan tak leluasa mengemukakan yang ia tahu.

Ketika rahasia merajai, negara diselubungi misteri, dan publik hidup dalam pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan kita, apakah sebagian penyelenggara negara telah menjadi penjaga rahasia kejahatan? Benarkah ada intervensi terhadap BPK? Sungguhkah Komisi Pemberantasan Korupsi bertindak independen dalam menangani kasus korupsi proyek Hambalang? Tiadanya jawaban pasti untuk pertanyaan-pertanyaan itu merupakan pertanda bahwa rahasia merupakan suatu karakter penyelenggaraan negara saat ini.

Mirip kehidupan suatu organisasi rahasia, negara kini diliputi tabir yang menghalangi publik mengetahui penyelesaian hukum kasus korupsi proyek Hambalang. Sejumlah rumor, bahkan fitnah, berembus dari berbagai penjuru tanpa kejelasan. Dalam kungkungan rahasia, publik sungguh kesulitan membedakan mana fakta mana dusta.

Meski rahasia itu tidak terkait langsung dengan kejahatan, sesungguhnya kejahatan itu terkait langsung dengan rahasia (Simmel, 1950:331). Sebagai tindakan tidak bermoral, kejahatan ko- rupsi menyembunyikan diri untuk alasan-alasan yang jelas. Sulit membayangkan koruptor terbuka mengungkapkan kebobrokan moralnya. Dalam berbagai kasus, koruptor bahkan mencitrakan diri religius, sopan, terpelajar, dan taat hukum demi merahasiakan kejahatan mereka.

Dengan berahasia, imoralitas kejahatan berusaha dibungkus rapat di luar dunia nyata oleh para pelakunya. Sebagaimana ditunjukkan Simmel, rahasia memang merupakan suatu ekspresi sosiologis keburukan moral.

Pengkhianatan akan kepercayaan
Berbeda dengan organisasi rahasia, negara demokratis menyelenggarakan kekuasaan secara transparan. Berlawanan dengan ketertutupan, kepublikan justru menuntut keterbukaan. Transparansi akan memastikan kontrol publik atas penyelenggaraan kekuasaan negara. Kontrol yang kuat akan mendorong pertanggungjawaban kekuasaan. Pada gilirannya, kekuasaan yang akuntabel memiliki legitimasi yang kukuh.

Para penyelenggara negara mesti memahami bahwa semakin keras mereka berusaha menutupi fakta dari pengetahuan publik, semakin besar keraguan terhadap akuntabilitas kekuasaan mereka. Kasus korupsi proyek Hambalang merupakan ujian nyata bagi akuntabilitas tersebut.

Jika para pemegang kekuasaan berusaha melindungi pelaku korupsi, niscaya terdapat cacat moral dalam kekuasaan mereka. Sebaliknya, jika seluruh komponen kekuasaan mampu menyelenggarakan kehidupan negara secara penuh tanggung jawab, niscaya legitimasi kekuasaan mereka semakin kuat.

Cukup sering bahwa para penjaga rahasia terperosok menjadi pendusta demi membatasi pengetahuan publik. Kebenaran sengaja disamarkan. Jika perlu, dimunculkan fakta rekaan untuk mengecoh publik. Dalam kasus ini, kalkulasi tentang konsekuensi terbukanya persekongkolan korupsi membuat sebagian orang memilih berdusta menutupi rahasia.

Meski demikian, terdapat dua kemungkinan pada rahasia: bahaya eksternal bahwa rahasia itu akan terbongkar berkelindan dengan bahaya internal bahwa seseorang akan mengungkapkannya. Terbongkarnya suatu rahasia kejahatan, dengan begitu, tidak selalu karena pengkhianatan para kolaborator. Kegigihan para penegak hukum dapat saja menguak suatu rahasia kejahatan. Ini berarti, pengungkapan kasus korupsi proyek Hambalang lebih menuntut keahlian dan kesungguhan para penegak hukum ketimbang kerelaan saksi dan terdakwa mengungkapkan fakta.

Sesungguhnya dusta berdampak signifikan dalam kehidupan negara. Bagaimana tidak, publik mengamanatkan kekuasaan negara kepada para pejabat dengan suatu pengandaian bahwa mereka layak dipercaya. Kepercayaan bahwa publik tidak dikhianati kiranya membuat kehidupan berjalan normal dan baik. Tidaklah perlu, misalnya, setiap orang memastikan setiap saat bahwa seluruh pejabat publik tidak berdusta dan korup.

Namun, pengkhianatan akan kepercayaan oleh para pejabat korup berakibat nyata dan meluas. Bangunan milik publik runtuh bahkan sebelum sempat digunakan. Kemiskinan menggejala di tengah berlimpahnya sumber daya. Ketimpangan meluas karena kesempatan sosial terhambat, dan seterusnya.

Dampak korupsi, sebagai suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan publik, tidak terbatas pada mereka yang terkait langsung. Korupsi menggerogoti kemanfaatan publik, korupsi mendustakan amanat kekuasaan.

Bagaimana apabila suatu negara dikelola dengan penuh dusta? Dusta tidak mungkin dijadikan landasan beroperasinya suatu kekuasaan negara. Jika ucapan tidak sejalan dengan tindakan, dan tindakan dikosongkan dari maknanya untuk kemanfaatan publik, tiada keabsahan bagi kekuasaan negara semacam itu. Patut disadari bahwa legitimasi ditentukan lebih oleh komitmen pada pengelolaan kekuasaan negara secara jujur ketimbang sekadar citra bersih suatu pemerintahan.

Simmel (1950:316) mengingatkan, ”Betapa pun dusta kerap menghancurkan suatu relasi, sejauh relasi itu ada, dusta merupakan unsur yang melekat di dalamnya.” Peringatan itu mesti menguatkan komitmen kekuasaan pada perwujudan suatu negara yang jujur, bukan malah mewajarkan dusta demi menutupi rahasia persekongkolan korupsi.




 
OPINI
Setelah membaca kasus dari artikel tersebut, sedikit opini yang bisa saya berikan menurut dari sisi pengetahuan ilmu audit, khusus nya audit forensic yakni kasus tersebut termasuk kedalam jenis skim kecurangan (fraud) : Korupsi (Corruption).
Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisma). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).
Berikut merupakan program audit forensic yang dapat saya utarakan :
a.    Tujuan audit
    Mendeteksi dan membuktikan adanya fraud dan mendeteksi pelakunya.
    Mendeteksi dan menghitung kerugian keuangan negara yang disebabkan tindakan fraud.

b.    Prosedur audit dan pengujian/testing
Prosedur audit forensik utamanya ditekankan pada analisis laporan / analytical review dan teknik wawancara mendalam / in depth interview walaupun demikin masih juga tetap menggunakan teknis audit secara umum pengecekan fisik, rekonsiliasi dan konfirmasi.
Audit forensik biasa dilakukan dengan melalui beberapa tahapan yaitu
  Memperoleh informasi awal fraud
  Memperoleh informasi tambahan bila diperlukan
  Melakukan analisis layak tidaknya diinvestigasi dari data yang tersedia
  Menciptakan dan mengembangkan hipotesis-hipotesis yang didasarkan pada hasil analisis
  Melakukan pengujian terhadap hipotesis
  Memperbaiki maupun mengubah hipotesis berdasarkan hasil pengujian
  Mengumpulkan bukti-bukti fraud
  Evaluasi bukti-bukti
  Menyusun laporan LHF.

Pengujian / testing terdiri dari :
  Pengujian terhadap fisik/physical examination yang meliputi penghitungan uang tunai, kertas berharga, persediaan barang, aktiva tetap dan barang berwujud lainnya.
  Uji Tuntas (Due diligence) Uji tuntas atau Due diligence adalah istilah yang digunakan untuk penyelidikan guna penilaian kinerja perusahaan atau seseorang , ataupun kinerja dari suatu kegiatan guna memenuhi standar baku yang ditetapkan. Uji tuntas ini biasanya digunakan untuk menilai kepatuhan terhadap hukum atau peraturan.

c.     Alat bantu auditor forensic
Salah satu alat bantu auditor forensik adalah ilmu tentang akuntansi forensik (forensic accounting).
Profesi audit sangat menekankan pentingnya bukti audit. Bukti-bukti audit yang diperoleh dalam audit forensik harus dapat memenuhi aspek legal, artinya memiliki kekuatan hukum apabila diperlukan untuk siding dipengadilan.