Dusta Hambalang ...
Oleh
Arif Susanto
Kasus korupsi proyek Hambalang
merupakan ujian terhadap akuntabilitas kekuasaan negara. Tabir telah
menghalangi publik mengetahui penyelesaian hukumnya.
Patut dikhawatirkan bahwa
berahasia menjadi karakter penyelenggara negara. Sementara itu, seiring dengan
merebaknya korupsi, publik menghendaki agar dusta tidak merupakan modus
operasional kekuasaan negara. Penuntasan kasus korupsi proyek Hambalang akan
menegaskan komitmen penguasa pada perwujudan negara yang bersih.
Penjaga rahasia kejahatan
Deddy Kusdinar, mantan Kepala
Biro Perencanaan dan Orga- nisasi Kementerian Pemuda dan Olahraga, merasa aneh
bahwa hanya dirinya yang dijadikan tersangka dalam kasus korupsi proyek
Hambalang (Kompas, 16/10). Jika Deddy tak sendiri, siapa saja yang diuntungkan
dalam manipulasi proyek Hambalang yang nilainya menggelembung hingga Rp 2,4
triliun itu? Siapa pula dalang utama perampokan uang negara itu?
Bukan perkara mudah mengungkap
fakta tersembunyi itu sebab para koruptor bersekongkol merahasiakan
kejahatan-kejahatan mereka. Bila persekongkolan tersebut berhasil, rahasia itu
akan terkubur di luar dunia nyata: hanya diketahui oleh mereka yang menjaga
rahasia dengan baik. Dengan sifatnya yang tertutup, rahasia mengungkung
kebebasan, membuat pilihan tindakan seseorang menjadi terbatas.
Indikasi adanya intervensi
terhadap laporan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan tentang proyek
Hambalang yang dikemukakan anggota BPK, Taufiequrachman Ruki, merupakan bentuk
pengungkungan kebebasan semacam itu. Indikasi yang kemudian direduksi menjadi
sekadar persoalan silap lidah itu, saya pikir, menunjukkan bahwa Ruki sendiri
bahkan tak leluasa mengemukakan yang ia tahu.
Ketika rahasia merajai, negara
diselubungi misteri, dan publik hidup dalam pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan
kita, apakah sebagian penyelenggara negara telah menjadi penjaga rahasia
kejahatan? Benarkah ada intervensi terhadap BPK? Sungguhkah Komisi Pemberantasan
Korupsi bertindak independen dalam menangani kasus korupsi proyek Hambalang?
Tiadanya jawaban pasti untuk pertanyaan-pertanyaan itu merupakan pertanda bahwa
rahasia merupakan suatu karakter penyelenggaraan negara saat ini.
Mirip kehidupan suatu organisasi
rahasia, negara kini diliputi tabir yang menghalangi publik mengetahui
penyelesaian hukum kasus korupsi proyek Hambalang. Sejumlah rumor, bahkan
fitnah, berembus dari berbagai penjuru tanpa kejelasan. Dalam kungkungan
rahasia, publik sungguh kesulitan membedakan mana fakta mana dusta.
Meski rahasia itu tidak terkait
langsung dengan kejahatan, sesungguhnya kejahatan itu terkait langsung dengan
rahasia (Simmel, 1950:331). Sebagai tindakan tidak bermoral, kejahatan ko-
rupsi menyembunyikan diri untuk alasan-alasan yang jelas. Sulit membayangkan
koruptor terbuka mengungkapkan kebobrokan moralnya. Dalam berbagai kasus,
koruptor bahkan mencitrakan diri religius, sopan, terpelajar, dan taat hukum
demi merahasiakan kejahatan mereka.
Dengan berahasia, imoralitas
kejahatan berusaha dibungkus rapat di luar dunia nyata oleh para pelakunya.
Sebagaimana ditunjukkan Simmel, rahasia memang merupakan suatu ekspresi
sosiologis keburukan moral.
Pengkhianatan akan kepercayaan
Berbeda dengan organisasi
rahasia, negara demokratis menyelenggarakan kekuasaan secara transparan.
Berlawanan dengan ketertutupan, kepublikan justru menuntut keterbukaan.
Transparansi akan memastikan kontrol publik atas penyelenggaraan kekuasaan
negara. Kontrol yang kuat akan mendorong pertanggungjawaban kekuasaan. Pada
gilirannya, kekuasaan yang akuntabel memiliki legitimasi yang kukuh.
Para penyelenggara negara mesti
memahami bahwa semakin keras mereka berusaha menutupi fakta dari pengetahuan
publik, semakin besar keraguan terhadap akuntabilitas kekuasaan mereka. Kasus
korupsi proyek Hambalang merupakan ujian nyata bagi akuntabilitas tersebut.
Jika para pemegang kekuasaan
berusaha melindungi pelaku korupsi, niscaya terdapat cacat moral dalam
kekuasaan mereka. Sebaliknya, jika seluruh komponen kekuasaan mampu
menyelenggarakan kehidupan negara secara penuh tanggung jawab, niscaya
legitimasi kekuasaan mereka semakin kuat.
Cukup sering bahwa para penjaga
rahasia terperosok menjadi pendusta demi membatasi pengetahuan publik. Kebenaran
sengaja disamarkan. Jika perlu, dimunculkan fakta rekaan untuk mengecoh publik.
Dalam kasus ini, kalkulasi tentang konsekuensi terbukanya persekongkolan
korupsi membuat sebagian orang memilih berdusta menutupi rahasia.
Meski demikian, terdapat dua
kemungkinan pada rahasia: bahaya eksternal bahwa rahasia itu akan terbongkar
berkelindan dengan bahaya internal bahwa seseorang akan mengungkapkannya.
Terbongkarnya suatu rahasia kejahatan, dengan begitu, tidak selalu karena
pengkhianatan para kolaborator. Kegigihan para penegak hukum dapat saja menguak
suatu rahasia kejahatan. Ini berarti, pengungkapan kasus korupsi proyek
Hambalang lebih menuntut keahlian dan kesungguhan para penegak hukum ketimbang
kerelaan saksi dan terdakwa mengungkapkan fakta.
Sesungguhnya dusta berdampak
signifikan dalam kehidupan negara. Bagaimana tidak, publik mengamanatkan
kekuasaan negara kepada para pejabat dengan suatu pengandaian bahwa mereka
layak dipercaya. Kepercayaan bahwa publik tidak dikhianati kiranya membuat
kehidupan berjalan normal dan baik. Tidaklah perlu, misalnya, setiap orang
memastikan setiap saat bahwa seluruh pejabat publik tidak berdusta dan korup.
Namun, pengkhianatan akan
kepercayaan oleh para pejabat korup berakibat nyata dan meluas. Bangunan milik
publik runtuh bahkan sebelum sempat digunakan. Kemiskinan menggejala di tengah
berlimpahnya sumber daya. Ketimpangan meluas karena kesempatan sosial
terhambat, dan seterusnya.
Dampak korupsi, sebagai suatu
pengkhianatan terhadap kepercayaan publik, tidak terbatas pada mereka yang
terkait langsung. Korupsi menggerogoti kemanfaatan publik, korupsi mendustakan
amanat kekuasaan.
Bagaimana apabila suatu negara
dikelola dengan penuh dusta? Dusta tidak mungkin dijadikan landasan
beroperasinya suatu kekuasaan negara. Jika ucapan tidak sejalan dengan
tindakan, dan tindakan dikosongkan dari maknanya untuk kemanfaatan publik,
tiada keabsahan bagi kekuasaan negara semacam itu. Patut disadari bahwa
legitimasi ditentukan lebih oleh komitmen pada pengelolaan kekuasaan negara secara
jujur ketimbang sekadar citra bersih suatu pemerintahan.
Simmel (1950:316) mengingatkan,
”Betapa pun dusta kerap menghancurkan suatu relasi, sejauh relasi itu ada,
dusta merupakan unsur yang melekat di dalamnya.” Peringatan itu mesti
menguatkan komitmen kekuasaan pada perwujudan suatu negara yang jujur, bukan
malah mewajarkan dusta demi menutupi rahasia persekongkolan korupsi.
OPINI
Setelah membaca
kasus dari artikel tersebut, sedikit opini yang bisa saya berikan menurut dari
sisi pengetahuan ilmu audit, khusus nya audit forensic yakni kasus tersebut
termasuk kedalam jenis skim kecurangan (fraud) : Korupsi (Corruption).
Jenis fraud ini yang
paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti
suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di
negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang
kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih
dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para
pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisma). Termasuk
didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of
interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal
gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).
Berikut merupakan
program audit forensic yang dapat saya utarakan :
a. Tujuan audit
• Mendeteksi dan membuktikan adanya fraud dan
mendeteksi pelakunya.
• Mendeteksi dan menghitung kerugian keuangan
negara yang disebabkan tindakan fraud.
b. Prosedur audit dan pengujian/testing
Prosedur
audit forensik utamanya ditekankan pada analisis laporan / analytical review
dan teknik wawancara mendalam / in depth interview walaupun demikin masih juga
tetap menggunakan teknis audit secara umum pengecekan fisik, rekonsiliasi dan
konfirmasi.
Audit
forensik biasa dilakukan dengan melalui beberapa tahapan yaitu
• Memperoleh informasi awal fraud
• Memperoleh informasi tambahan bila diperlukan
• Melakukan analisis layak tidaknya
diinvestigasi dari data yang tersedia
• Menciptakan dan mengembangkan
hipotesis-hipotesis yang didasarkan pada hasil analisis
• Melakukan pengujian terhadap hipotesis
• Memperbaiki maupun mengubah hipotesis
berdasarkan hasil pengujian
• Mengumpulkan bukti-bukti fraud
• Evaluasi bukti-bukti
• Menyusun laporan LHF.
Pengujian
/ testing terdiri dari :
• Pengujian terhadap fisik/physical examination
yang meliputi penghitungan uang tunai, kertas berharga, persediaan barang,
aktiva tetap dan barang berwujud lainnya.
• Uji Tuntas (Due diligence) Uji tuntas atau Due
diligence adalah istilah yang digunakan untuk penyelidikan guna penilaian
kinerja perusahaan atau seseorang , ataupun kinerja dari suatu kegiatan guna
memenuhi standar baku yang ditetapkan. Uji tuntas ini biasanya digunakan untuk
menilai kepatuhan terhadap hukum atau peraturan.
c. Alat bantu auditor forensic
Salah
satu alat bantu auditor forensik adalah ilmu tentang akuntansi forensik
(forensic accounting).
Profesi
audit sangat menekankan pentingnya bukti audit. Bukti-bukti audit yang
diperoleh dalam audit forensik harus dapat memenuhi aspek legal, artinya
memiliki kekuatan hukum apabila diperlukan untuk siding dipengadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar