Menyikapi "Stress Test"
Perbankan dari IMF
Bramanian
Surendro
Beberapa
waktu lalu, Dana Moneter Internasional atau IMF merilis laporan, Indonesia:
Financial System Stability Assessment. Beberapa isu dalam laporan itu meliputi
sektor perbankan, asuransi, dan pasar modal. Juga IMF mencantumkan hasil stress
test atas industri perbankan (121 bank) Indonesia.
Hasil
stress test ini cukup sensitif dan ramai diberitakan media. Beberapa poin
sensitif tersebut antara lain: bank pelat merah (termasuk BPD) menjadi kelompok
bank yang paling rentan terhadap gejolak ekonomi, kredit macet (non performing
loan/NPL) mencapai 31,5 persen (saat ini sekitar 3 persen), 37 bank akan
mengalami kekurangan modal, sementara 13 bank berpotensi menjadi bank gagal.
Biaya
rekapitulasi yang diperlukan pada kondisi itu akan mencapai Rp 72 triliun.
Porsi terbesar dari biaya rekapitulasi itu ditujukan bagi bank pelat merah atau
Bank BUMN, yakni sekitar Rp 55 triliun.
Stress
test tersebut dilakukan dengan menggunakan dua metode, yang diistilahkan IMF
sebagai metode top-down (TD) dan bottom-up (BU).
Dalam
metode BU, 12 bank terbesar berdasarkan aset disertakan. Ke-12 bank ini
menguasai sekitar 60 persen aset perbankan nasional. Proses simulasi dilakukan
dengan melibatkan pihak bank, di mana pihak bank akan memberikan masukan atas
antisipasi yang akan mereka ambil saat terjadi perubahan besaran variabel
makroekonomi.
Dalam
metode TD, 115 dari 121 bank disertakan. Beberapa hasil dari metode BU
disertakan sebagai masukan dalam pembuatan model ekonometri di metode TD.
Simulasi terhadap model kemudian dilakukan berdasar sejumlah asumsi
makroekonomi yang ditetapkan di awal.
Karena
model dan sebagian besar variabel ditetapkan di awal, langkah penyelamatan yang
mungkin diambil pemerintah sebagai otoritas fiskal dan Bank Indonesia (BI)
sebagai otoritas moneter tidak tercermin dalam simulasi.
Hasil-hasil
stress test yang sudah disebutkan di atas merupakan sebagian hasil yang
diperoleh dari metode TD.
Mungkin
karena judulnya stress test, IMF hanya menggunakan satu skenario krisis
(extreme shock) dalam proses simulasi. Skenario krisis tersebut di awali dengan
kenaikan tajam harga komoditas pangan dan energi (harga minyak dunia mencapai
120 dollar AS per barrel, skenario normal 100 dollar AS per barrel), dibarengi
penurunan kepercayaan investor. Inflasi yang meroket akan memangkas daya beli
dan aktivitas konsumsi hingga menyebabkan aktivitas ekonomi ikut terpuruk, di
mana PDB disebut mengalami kontraksi sebesar hampir 5 persen. Modal asing akan
keluar, mendorong pelemahan nilai tukar rupiah (Tabel 1).
Mengingat
sektor perbankan cukup rentan pada sentimen negatif, informasi sensitif seperti
stress test ini seharusnya tidak disampaikan kepada publik, apalagi berasal
dari lembaga sebesar IMF.
Karena
sudah telanjur diakses publik, bagaimana hasil tersebut seharusnya disikapi?
Perlukah hasil tes itu dikhawatirkan? Perlu disadari bahwa apa yang ada dalam
laporan itu bukan merupakan proyeksi atas kondisi ekonomi dan sistem perbankan
Indonesia untuk beberapa waktu ke depan.
Karena
bertujuan untuk mengetahui daya tahan sistem perbankan dalam menghadapi krisis,
IMF memilih menggunakan skenario ekstrem dalam model simulasi. Seharusnya tidak
terlalu mengejutkan bila kemudian beberapa poin negatif muncul. Bagaimana pun,
gejolak ekonomi akan memengaruhi sektor perbankan. Ini tidak hanya berlaku bagi
perbankan Indonesia, tapi juga perbankan di negara-negara lain.
Beberapa
poin hasil stress test juga dapat digunakan oleh otoritas fiskal dan moneter di
sini untuk memperkuat sistem perbankan kita, terlebih saat ini ekonomi dunia
masih diliputi ketidakpastian.
Relevansi
Lalu,
bagaimana relevansi skenario IMF dengan perkembangan ekonomi global akhir-
akhir ini. Naiknya tekanan inflasi akhir-akhir ini bisa menimbulkan kesan skenario
awal krisis dalam tes IMF mungkin saja terjadi dalam waktu dekat. Apalagi
kenaikan harga minyak ke level 120 dollar AS per barrel masuk di dalam skenario
krisis tersebut. Harga minyak pernah mencapai level ini pada triwulan kedua
tahun 2008.
Harga
minyak yang tinggi pernah memaksa pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak
bersubsidi pada tahun 2005 dan 2008, mendorong inflasi secara signifikan.
Pada
tahun 2008, inflasi tertinggi mencapai sekitar 12 persen. Sementara, tahun 2005
inflasi tertinggi mencapai 18,4 persen. Dalam skenario krisis IMF, inflasi
disebutkan mencapai 18,3 persen di tahun pertama krisis.
Saat
ini, harga minyak dunia di kisaran 76 dollar AS per barrel. Pergerakan harga
minyak ini ternyata tidak setinggi yang diperkirakan pada awal 2010. Energy
Information Administration (EIA) di AS menurunkan proyeksi harga minyak dunia
di akhir tahun 2010 dari sekitar 82 dollar AS per barrel (outlook EIA di awal
2010) menjadi 78 dollar AS per barrel (outlook EIA per September 2010).
Karena
itu, kenaikan tajam harga minyak dunia dan harga komoditas energi lainnya
sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Hal ini akan mengurangi
tekanan bagi ruang fiskal pemerintah sehingga tidak perlu mengambil langkah
drastis yang mungkin dapat mendorong inflasi tidak terkendali.
Pemerintah
bahkan memiliki waktu yang seharusnya cukup untuk mempersiapkan serangkaian
kebijakan dalam mengantisipasi tekanan dari naiknya harga komoditas energi
dunia.
Misalkan
inflasi benar-benar naik tidak terkendali, skenario krisis IMF menyebutkan
bahwa suku bunga acuan akan naik hingga 20,9 persen di tahun pertama krisis.
Kenaikan suku bunga acuan setinggi itu pasti membuat aktivitas ekonomi domestik
melambat signifikan.
Lalu,
apa poin skenario ini realistis? Pengalaman pada tahun 2005 dan 2008
menunjukkan bahwa pada saat inflasi naik tajam, BI tidak meresponnya dengan
menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) hingga di atas level inflasi. Tahun
2005-2006 BI Rate tertinggi mencapai 12,75 persen (inflasi tertinggi 18,4
persen). Sementara tahun 2008, BI Rate tertinggi 9,5 persen (inflasi tertinggi
12,1 persen).
Respons
tersebut sudah cukup mengingat tekanan inflasi bukan datang dari sisi
permintaan. Bila tidak ada kejutan lanjutan yang membuat tekanan inflasi
bertahan, efek dasar akan membuat level inflasi tahunan turun dengan signifikan
di tahun berikutnya (gambar 1).
Kondisi
berbeda mungkin terjadi bila tekanan inflasi diperkirakan berkelanjutan dan
bertahan dalam waktu yang lama. Pada kondisi ini, BI mungkin saja merespons
dengan menaikkan BI Rate hingga di atas level inflasi.
Namun,
kondisi ini justru tidak tercermin dari skenario krisis IMF karena pada tahun
kedua krisis, level inflasi diasumsikan turun signifikan (tabel 1). Artinya,
skenario krisis IMF di titik ini tidak realistis.
Dari
alasan itu, bila kenaikan suku bunga acuan dalam skenario krisis IMF tidak
dipatok setinggi seperti yang disebutkan, potensi penurunan aktivitas ekonomi
tentu juga tidak sedalam yang diasumsikan IMF (minus 5 persen). Bila kondisi
ini dikenai pada model simulasi stress test IMF, hasil yang ada mungkin jauh
lebih positif.
Terlepas
dari simulasi IMF, perkembangan ekonomi Indonesia beberapa waktu terakhir juga
masih positif. Selain itu, pemerintah dan BI sudah dan akan mengimplementasikan
rangkaian kebijakan yang dapat memperkuat sektor perbankan dan sektor finansial
lain agar kita lebih siap menghadapi gejolak ekonomi di masa mendatang.
Bramanian
Surendro Analis Danareksa Research Institute
Sumber : http://internasional.kompas.com/
OPINI
:
Dari
artikel diatas dapat disimpulkan secara garis besar yakni adanya simulasi yang
dilakukan oleh IMF terhadap perbankan Indonesia yang menujukkan bagaimana
keadaan ekonomi dan ancaman yang akan dihadapi oleh perbankan Indonesia akibat
gejolak ekonomi yang dimana salah satunya adlah inflasi. Akan tetapi ada
beberapa hal yang tidak tercermin dalam simulasi IMF tersebut. Walapun
demikian, yang terpenting adalah melihat simulasi IMF tersebut sebagai
peringatan dan acuan untuk memperbaiki perekonomian Indonesia, pemerintah dan BI sudah dan akan
mengimplementasikan rangkaian kebijakan yang dapat memperkuat sektor perbankan
dan sektor finansial lain agar kita lebih siap menghadapi gejolak ekonomi di
masa mendatang.